Musik,
sebagai salah satu bidang seni, merupakan suatu kebutuhan masyarakat baik masa
kini maupun masa lampau. Tidak ada suatu kebudayaan di dunia yang tidak
mengenal musik[1].
Musik adalah suatu yang abstrak yang berhubungan dengan bunyi, tetapi alat
musik merupakan benda-benda yang berwujud dan dapat kita amati, akan tetapi
dibalik itu semua akan di ketahui bahwa sesungguhnya alat-alat musik dan musik
itu sendiri sangat erat berkaitan, bahkan dalam kenyataan yang tak terpisahkan
antara satu dengan yang lain.
Mary Palmer
mengingatkan bahwa hidup manusia di kelilingi oleh bunyi, atau sekeliling
manusia bisa menjadi dasar inspirasi dalam perkembangan alat musik.[2].
Semua bagian kehidupan yang ada pada suatu sistem akan berinteraksi satu sama
lain, baik dengan sesama maupun antara mahluk hidup dan benda mati. Manusia,
sejak lahir memiliki akal yang dapat digunakan untuk menciptakan alat-alat
musik. Oleh karena itu, dalam usaha menjajagi ragam bunyi-bunyian (musik) dan
alat musik dari zaman ke zaman, perlu diperhatikan perkembangan sejarah secara
umum, khususnya perkembangan sejarah dari bangsa-bangsa yang masih berkultur
rendah sampai bangsa-bangsa yang berkultur tinggi.
Pada
awalnya, perkembangan musik (bunyi-bunyian) dan alat musik berasal dari manusia
itu sendiri, seperti berteriak, bercakap, bertepuk tangan dan menghentakan kaki
ke tanah. Alat-alat bunyi-bunyian tersebut pada awalnya digunakan sebagai
ekspresi jiwa, kemudian berkembang untuk keperluan komunikasi yaitu hubungan
sosial antar manusia yang berkaitan untuk ritus-ritus kepercayaan. Dengan demikian,
lewat pemilihan ungkapan musik, manusia telah memulai melengkapi sarana
hidupnya sejak masa prasejarah[3].
Pada tahap
kedua, manusia mempergunakan lingkungan alam dengan cara mempergunakan
benda-benda alam dan alat-alat keperluan sehari-hari untuk menghasilkan bunyi,
oleh sebab itu setiap bangsa memiliki alat-alat musik dan musik (bunyi-bunyian)
yang berbeda-beda.
Perkembangan
seni bunyi (musik) bukan saja disebabkan oleh kemajuan teknologi, tetapi juga
didukung oleh filsafat hidup masyarakat yang berkaitan dengan kepercayaan akan
kekuatan alam. Dalam sejarah musik, dikatakan bahwa alat musik telah ada sejak
masa prasejarah. Penelitian arkeologi di Polandia dan Rusia, pada tahun 1940,
telah menemukan alat bunyi-bunyian dari bahan tulang, gerabah, dan perunggu
dari masa prasejarah, (T. Malinowski, 1981: 266-271; W. Kimmininski, 1963).[4].
Penelitian Casya Lund (1981: 246-265) di skandinavia dan Malinowski (1981:
266-271) di Polandia, telah ditemukan alat-alat bunyi-bunyian dibuat dari bahan
tulang, batu, gerabah, dan perunggu.
Perkembangan
alat-alat bunyi di dunia ternyata tidak sama disebabkan perhatian suatu bangsa
terhadap bunyi sekelilingnya tidak sama. Hal ini tampak sekali pada
bangsa-bangsa yang telah mengenal tulisan seperti Mesir, Sumeria, bangsa-bangsa
di Mesopotamia, Israel, Cina, Yunani dan India sebelum tarik Masehi. Oleh
kemajuan teknologi alat bunyi-bunyian yang sederhana diubah menjadi
bentuk-bentuk alat musik seperti yang sekarang kita kenal.
Sejak masa prasejarah, di Indonesia
telah dikenal alat musik nekara dari bahan perunggu. Adapun
kebudayaan perunggu di Indonesia itu datangnya dari Tiongkok Selatan, Propinsi
Yunan, melalui Tonkin, yang kemudian masuk ke Melayu dan baru sampai ke
Indonesia. Daerah-daerah yang dulunya mempunyai peninggalan-peninggalan zaman perunggu
antara lain;[5]
1.
Sumatera Selatan
2.
Jawa
3.
Bali
4.
Beberapa kepulauan Nusa Tenggara
5.
Irian dengan Danau Santani
Kebudayaan Perunggu ini sering juga
disebut kebudayaan ‘Dongson’, yaitu nama desa di Tonkin, dimana para
ilmuwan mengadakan penyelidikan yang menghasilkan pembuktian bahwa kebudayaan
di Indonesia itu datangnya langsung dari daerah tersebut, penyelidikan ini
dilakukan oleh Payot. Kebudayaan perunggu ini bahannya sangat
erat dengan gamelan, ada hal-hal lain yang sedikit banyak memberikan gambaran
pertumbuhan dari salah satu instrumen karawitan yang tumbuh pada zaman ini,
yaitu genderang perunggu atau tepatnya Nekara. Nekara adalah
genderang perunggu yang di perkirakan digunakan sebagai :
·
Genderang Perang
·
Genderang Upacara (Pemakaman)
·
Genderang Iringan Tari.
Bukti kuat lagi yang dapat dilihat
pada nekara “bulan pejeng” di Bali, yang ditemukan disebuah kuil
di Pejeng, dan juga nekara yang terdapat di daerah Kedu. Perlu diketahui
bahwa nekara pejeng ini jelas buatan Indonesia, karena terbukti adanya ‘Batu
Tuangan’ untuk nekara semacam itu.
Bukti lain yang menyatakan bahwa
gamelan sudah ada di zaman perunggu yaitu adanya Kenong Batu,
yang diperkirakan sebagai motif untuk membuat Kenong yang terdapat di
Jawa Tengah. Hal-hal di atas merupakan bukti-bukti yang akan menuntun
kebudayaan Indonesia untuk mengenal atau menciptakan musik yang kita sebut
sekarang ‘karawitan’
Di abad ke-VIII dijumpai sejarah
karawitan hanya dari relief candi saja. Dari sumber tersebut kita mengenal
empat macam alat karawitan sebagai berikut :
- Genta / kulintang
- siter berbatang panjang
- kecapi berkawat tiga
- semacam kecer, yang dikenal dengan istilah asing cymbale.
Jelas pada abad ini kita hanya dapat
melihat sumber sejarah karawitan dari bangunan kuno yang berupa candi yang ada
reliefnya, candi itu ialah Candi Borobudur, Candi Dieng, Candi Prambanan,
dan Candi Sari. Begitupun di abad ke- IX kita jumpai sumber karawitan dari
piagam-piagam, relief candi dan beberapa arca lepas, arca yang di maksud yaitu arca
perunggu dari Tegal, pinggir sungai Pagerayu, Desa Jatimerta kecamatan
Balapulang, berupa arca Kinara membawa siter berbatang panjang, arca
perunggu berupa Dewi Saraswati membawa kecapi dengan tiga kawat. Dari
relief candi kita jumpai alat-alat karawitan yaitu;
kendang bermacam bentuk, ukuran,
bahan dan cara-cara memainkan, genta dari berbagai bentuk dan ukuran, kecer
dari berbagai bentuk dan ukuran seruling (bangshi), kecapi dengan 2,3,dan 4
kawat, harpa lengkung, pot suara, terompet kerang, campuran gambang dan calung.
Sedangkan dari arca lepas alat yang kita jumpai yaitu; siter berbatang panjang,
kecapi berkawat 3 dan genta lembu.
Hingga sampai abad ke-XX banyak
sekali sumber sejarah perkembangan karawitan di Indonesia yang dapat kita
lihat. Sama halnya musik daerah/etnis di Sumatera Selatan yang tidak jauh
berbeda dengan musik daerah-daerah lain di Indonesia (yang menggunakan tangga
nada Pentatonis), tetapi setelah masuknya pengaruh islam dan barat musik-musik
zaman prasejarah mulai di tinggalkan dan timbulah bentuk baru yang
mempergunakan tangga nada diatonis. Musik dan instrumen tradisi yang mempunyai
arti yang dalam, sekarang sudah makin tidak berfungsi terdesak oleh makin
populernya musik barat. Instrumen tradisi di Sumatera Selatan mempunyai bentuk
dan bahan yang sama dengan instrumen di Minangkabau, Jawa serta Bali.
I. Bahan yang
digunakan
Bahan yang digunakan untuk membuat
musik tradisi ini adalah besi atau logam campuran yang sering disebut gangsa
(sama seperti di Jawa Tengah) di samping itu juga yang terbuat dari kayu dengan
mempergunakan membran kulit (gendang dan terbangan)
II. Nama Instrumen
Perangkat instumen ini disebut dengan nama gamelan sama
seperti juga di tempat lain, adapun gamelan ini terdiri dari;
a)
Kulintang perunggu dan kayu
b)
Tawa’-tawa’ atau kanong-kanong
c)
Kempul dan gong
d)
Gendang
III. Tempat
Boleh dikatakan di tiap-tiap kabupaten dan kota di Sum-Sel
ada gamelan dan kalaupun ada perbedaan hanya namanya yang disesuaikan dengan
logat kedaerahan dan suku masing-masing
IV. Pemain
Pemain biasanya terdiri dari 9 ataupun 10 orang, sayangnya
pemuda-pemuda sekarang hampir tak ada yang bisa memainkannya lagi, berbeda
dengan di Jawa, maupun Bali dimana karawitan ini masih berkembang dengan baik.
Zaman Kesultanan dan Kolonial
Musik sebagai cabang kesenian yang
tidak akan lepas dari segi-segi kehidupan
manusia dan masyarakat, oleh sebab itu musik Sumatera Selatan pada masa
Kesultan banyak sekali dipengaruhi oleh kegiatan keagaman yang bertujuan untuk
ritual puji-pujian terhadap Tuhan YME,
Pada Masa Kesultanan musik di
Sumatera Selatan banyak sekali mendapat pengaruh Timur Tengah (Islam) seperti musik
melayu, hadro dengan syair diambil dari serat berjanji, serta yang
sampai saat ini eksistensinya tetap memiliki masyarakat pendukung, sebut saja
salah satunya musik rakyat Irama Batang Hari Sembilan.
Musik rakyat Irama Batang Hari
Sembilan ini merupakan hasil kreativitas masyarakat Sumatera Selatan, dalam hal
ini salah satu contoh daerah masyarakat Batu Urip, yang mengandung perasaan
individu dan pendukung pola masyarakat yang dituangkan melalui seni tradisi
berupa sastra klasik melayu kuno berupa pantun yang dikomposisikan dengan alat
musik gitar (pengaruh kolonial)
Batu Urip merupakan sebuah desa di
Kabupaten Musi Rawas. Di desa ini memiliki suatu bentuk kesenian musik rakyat
“batang hari sembilan” yang sangat erat hubungannya dengan upacara adat
pernikahan dan sosial masyarakat pendukungnya. Kesenian musik batang hari
sembilan ini sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Batu Urip, karena kesenian
ini selalu dipakai dalam upacara pernikahan, selain itu juga selalu ditampilkan
sebagai bentuk seni pertunjukan yang difungsikan oleh masyarakat pendukungnya
sebagai aset dan wawasan bagi generasi muda karena banyak mengandung nasehat
dan petuah-petuah serta sebagai pewaris tradisi kesenian rakyat.
Proses pertumbuhan musik rakyat
irama batang hari sembilan diawali di sekitar perbatasan antara Jambi dan
Sumatera Selatan hingga ke daerah-daerah pedalaman. Penyebaran itu banyak
dilakukan melalui transportasi sungai karena di Sumatera Selatan banyak
memiliki sungai yang besar-besar yang berjumlah sembilan. Sungai tersebut
adalah Sungai Musi, sungai Komering, sungai Ogan, sungai Rupit, sungai Lakitan,
sungai Batang Hari, sungai Rambang, dan sungai Lematang, sungai Musi Rawas.
Sungai-sungai ini merupakan fasilitas perhubungan yang sangat penting di daerah
Sumatera Selatan, selain itu juga sungai ini dimanfaatkan untuk mata pencarian
masyarakat yaitu menangkap ikan, serta digunakan juga sebagai jalur utama untuk
menghubungkan ke tiap-tiap daerah pedalaman yang berfungsi sebagai penyebaran
agama dan tidak menutup kemungkinan untuk sarana komunikasi budaya. Satu tempat
yang dipilih berdasarkan pertimbangan, dimana lalu lintas sungai Batang Hari
Sembilan sangat penting karena sebagai jalur komunikasi dalam penyebaran agama
islam ke daerah uluan atau pedalaman.
Menurut masyarakat Batu Urip
Kabupaten Musi Rawas, proses penyebaran musik rakyat irama batang hari
sembilan melalui jalur sungai yaitu sungai kelingi, dapat mencapai
daerah pedalaman Sumatera Selatan hingga akhirnya sampai ke daerah Batu Urip.
Musik tersebut masuk dan diterima oleh masyarakat setempat ketika mereka masih
bertempat tinggal di hilir sungai. Dapat dikatakan bahwa musik rakyat irama
batang hari sembilan yang terdapat di desa Batu Urip merupakan hasil dari
proses difusi kebudayaan. difusi merupakan proses penyebaran unsur-unsur
kebudayaan dari individu satu ke individu lain, dari masyarakat satu ke
masyarakat yang lain. Dengan proses tersebut manusia mampu untuk menghimpun
penemuan-penemuan baru, sehingga dapat dikatakan proses difusi tersebut,
merupakan pendorong pertumbuhan satu kebudayaan dan memperkaya kebudayaan
manusia.
Masuknya musik rakyat irama batang
hari sembilan memberikan perubahan yang membawa ke arah perkembangan pada
kesenian masyarakat Batu urip. Perubahan bentuk kesenian tradis terjadi karena
masyarakat setempat ingin mengembangkan identitas daerahnya. Sebelum masuknya
musik rakyat irama batang hari sembilan ke desa Batu Urip, di sana terdapat
kesenian pantun bersaut (rejung).
Pada awalnya kesenian rejung ini
merupakan bagian dari acara ceremonial yang biasanya dimainkan oleh pemuda dan
pemudi dalam acara pernikahan, yang waktunya dimainkan pada malam hari, yang
fungsinya untuk saling mengenal antara satu dengan lainnya. Tempat duduk para
bujang dan gadis dipisahkan oleh tabir sehingga tidak dapat dilihat,
pengenalannya hanya pada suara yang didengar seperti biasanya pantun bersaut.[6].
fungsi semula yang hanya menjadi bagian dari peristiwa adat, namun kini
mengalami pergeseran fungsi yaitu sebagai seni pertunjukan, pergeseran itu
tampat pada, tidak terlibatnya satu komunitas undangan muda-mudi untuk
berejung, tetapimereka cukup menonton dua orang antara pria dan wanita dalam
menyajikan musik tersebut.
Musik rakyat irama batang hari
sembilan dalam penyajiannya secara tidak langsung difungsikan oleh masyarakat
pendukungnya sebagai wawasan untuk generasi muda karena banyak mengandung
nasehat-nasehat dan petuah-petuah. Ternyata karya seni dapat difungsikan
sebagai tonggak sejarah yang mengabadikan pandangan hidup baru dan menandai
kehadiran tertentu yang penting artinya bagi generasi bangsa[7].
Hingga sampai sekarang musik rakyat irama batang hari sembilan tetap dikenal
karena kemampuannya dalam memfungsikan diri sebagai pewaris tradisi rakyat yang
mana syair lagunya hingga saat ini mampu meluruskan etika-etika bagi
pendengarnya.
Masa Kini
Seiring
perkembangan zaman dan pesatnya kemajuan teknologi seta banyaknya terdapat
bermacam suku bangsa di Sumatera Selatan, berimbas pada kesenian musik yang
terdapat di Sumatera Selatan sendiri, banyaknya kesenian-kesenian tradisi mulai
ditinggalkan yang akhirnya menyebabkan kepunahan karena saat sekarang ini
masyarakat (generasi muda) menganggap musik tradisi itu sudah ketinggalan jaman
atau kampungan. Padahal generasi muda adalah sebagai tongkat penerus kebudayaan
bangsa. Selain itu juga hampir seluruh kesenian yang terdapat di Indonesia
menggunakan atau kentalnya menggunakan tradisi lisan atau tutur, ini juga salah
satu penyebab kepunahan kesenian tradisi masa lampau.
Pada masa
sekarang ini masyarakat di Sumatera Selatan hampir tidak mengenal dengan
kesenian tradisinya sendiri, karena kurangnya minat serta para ahli-ahli di
bidang kesenian tradisi sudah banyak yang meninggal, di samping itu juga
pesatnya pengaruh barat yang tanpa filter lagi di terima masyarakat Sumatera
Selatan sehingga banyak yang meninggalkan kesenian tradisi tersebut dan beralih
ke kesenian modern salah satu contoh kesenian yang marak berkembang di Sumatera
Selatan adalah electon (orgen tunggal) hampir dalam setiap acara kesenian alat
musik ini di gunakan sebagai pengganti dari alat musik tradisi yang ada di
Sumatera Selatan, yang akhirnya menyingkirkan kesenian musik tradisi yang masih
bertahan. Oleh karena itu untuk masa sekarang ini perlu kita bangun kerja sama
yang baik antara dewan kesenian, dinas pendidikan nasional dan dinas pariwisata
serta para pelaku seni untuk melakukan riset yang gunanya sebagai
pendokumentasian baik berbentuk tulisan maupun audio visual, yang gunanya
sebagai bahan ajar di sekolah-sekolah sebagai salah satu penumbuhan kecintaan
terhadap kesenian tradisi (musik) serta sebagai bentuk pelestarian budaya yang
masih ada di Sumatera Selatan.
Salam Budaya
[1] Zanten , W. van. 1989. Sundanese Music in The Cianjuran Style.
Foris Publication, Dordrecht – Holland. p. 3
[2] Palmer, Mary.1977.Music appreciation – for babies. American
Babies:22, New York.p.43
[3] Sachs, Curt. 1940. The History of Musical Instrument. W.W.
Norton & Commpany. IncNew York.
[4] Malinowski, T. 1981. Archaeology and musical instruments in Poland.
Dalam Alat Musik Jawa Kuno. Mahardika, Yogyakarta.p.3.
[5] Haryanto, Timbul. 1994.
Aspek Teknis dan Simbol Artefak Perunggu Jawa Kuno Abad VIII-X.
Disertasi. Univ Gadjah Mada, Yogyakarta
[6] Suwondo, Bambang. 1984. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah
Sumatera Selatan. Depdikbud. Jakarta.p.10.
[7] Setjoatmojo, Pranjoto. 1982. Seni Sebagai Media Komunikasi
Budaya. Depdikbud. Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar