home

Rabu, 05 Desember 2012

Kisah MAHABRATA







Adakah di antara kalian yang menyukai cerita wayang, atau setidaknya pernah mengetahui dari berbagai sumber informasi tertulis, media elektronik dan pementasan baik wayang kulit, golek ataupun wayang orang? Maksudku cerita wayang yang bersumber dari kitab Ramayana dan Mahabharata. Cerita-cerita ini memang tak asing lagi buat para orang tua kita terutama dari suku Jawa, Sunda dan Bali. Bahkan saking menyatunya cerita ini sampai menjadi falsafah hidup bagi sebagian orang (terutama suku Jawa). Ada anggapan seolah-olah para tokoh dalam cerita itu adalah nenek moyang mereka. Benarkah?

Aku mencoba mengungkapkan beberapa hal seputar cerita wayang yang bersumber dari Kitab Mahabharata— sebuah sastra kuno yang konon ditulis oleh Resi Byasa atau Vyasa —bukan dari isi ceritanya melainkan dari fakta dan data-data yang cukup mengejutkan.

Isi dari kitab Mahabharata secara singkat menceritakan konflik para Pandawa lima dengan saudara sepupu mereka Korawa yang berjumlah seratus orang mengenai sengketa hak pemerintahan atas negara Astina. Puncak konflik adalah terjadinya perang Bharata (Bharatayudha) di medan Kurusetra yang berlangsung selama 18 hari dan hasilnya adalah kemenangan di pihak Pandawa.

Secara garis besar, cerita Mahabharata yang beredar di sini dengan cerita aslinya (India) adalah sama. Tetapi tentu saja dengan 'penghalusan' di sana-sini untuk menyesuaikan budaya lokal. Saking halusnya sampai banyak yang menganggap cerita wayang ini asli dari nenek moyangnya.

Pada awalnya aku menganggap cerita ini hanya fiksi tradisional yang diturunkan dari generasi ke generasi. Namun lama kelamaan aku berpikir... kalau itu cuma cerita karangan kenapa jalan ceritanya begitu nyata bahkan masing-masing tokoh punya karakter yang spesifik dengan silsilah /asal usul yang amat rinci. Hubungan satu tokoh dengan tokoh lainnya amat jelas layaknya sebuah babakan dalam sejarah.

Selain itu ada bukti lain tentang penyebutan nama negara dan tempat (setting) cerita yang terbukti nyata, alias bukan tempat antah berantah. Cobalah sekali waktu melihat peta India kuno di mana di sana akan dijumpai nama-nama kerajaan yang sering disinggung di Kitab Mahabharata itu seperti Kerajaan Kuru yang melahirkan Wangsa Kuru. Wangsa inilah yang menurunkan keluarga Pandawa dan Korawa itu. Ada lagi nama-nama seperti Panchala, Magadha, Matsya, bahkan belum lama para arkeolog telah menemukan sebuah kota yang hilang di bawah laut. Kota itu dipercaya sebagai Dwaraka tempat Sri Krisna bertahta dan terletak di lepas pantai Gujarat yang menghadap ke Laut Arab. Kalian bisa melihat video tentang Dwaraka

Sedangkan tempat berlangsungnya perang besar Baratayudha yang disebut Padang Kurusetra  (berlangsung sekitar 5000 tahun yang lalu) sekarang terletak di sebuah distrik di negara bagian Haryana, India. Kurusetra (dari bahasa Hindi: Kurukshetra) berarti "Daratan para Kuru".

Ada beberapa situs di Kurukshetra ini yang masih tersisa antara lain:
- Jyotisar, tempat terkenal dimana wejangan Bhagavad Gita diberikan kepada Arjuna oleh Sri Krisna.
- Museum Krishna: memiliki beberapa artifak bersejarah, dan lukisan tentang perang Mahabharata.
- Bhishma Kund di Naraktari: sebuah tempat dimana Arjuna memanah bumi agar memancarkan air untuk menghapus dahaga Resi Bhisma.

Suku Jawa



Suku Jawa adalah suku bangsa yang terbesar di Indonesia, dengan jumlahnya di sekitar 90 juta. Mereka berasal dari pulau Jawa dan menghuni khususnya di provinsi Jawa Tengah serta Jawa Timur tetapi di provinsi Jawa Barat, Banten dan tentu sahaja di Jakarta, mereka juga banyak ditemukan.
Bahasa
Sebahagian besar suku bangsa Jawa menuturkan bahasa Jawa sebagai bahasa percakapan harian. Sebuah tinjauan pendapat yang dijalankan oleh Majalah Tempo pada awal dekad 1990-an menunjukkan bahawa hanya sekitar 12% daripada orang-orang Jawa menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertuturan harian. Sekitar 18% menggunakan campuran bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, dengan yang lain menuturkan bahasa Jawa sebagai bahasa utama mereka.
Keturunan-keturunan masyarakat Jawa berpendapat bahawa bahasa Jawa adalah bahasa yang sangat sopan dan mereka, khususnya orang-orang yang lebih tua, menghargai orang-orang yang menuturkan bahasa mereka. Bahasa Jawa juga sangat mempunyai erti yang luas.
Kepercayaan
Sebahagian besar orang Jawa menganuti agama Islam pada nama sahaja. Yang menganuti agama Kristian, Protestan dan Katolik juga banyak, termasuknya di kawasan luar bandar, dengan penganut agama Buddha dan Hindu juga ditemukan di kalangan masyarakat Jawa. Terdapat juga agama kepercayaan suku Jawa yang disebut sebagai agama Kejawen. Kepercayaan ini pada dasarnya berdasarkan kepercayaan animisme dengan pengaruh agama Hindu-Buddha yang kuat. Masyarakat Jawa terkenal kerana sifat asimilasi kepercayaannya, dengan semua budaya luar diserap dan ditafsirkan mengikut nilai-nilai Jawa sehingga kepercayaan seseorang kadang kalanya menjadi kabur.
Pekerjaan
Di Indonesia, orang Jawa biasanya ditemukan dalam semua bidang, khususnya dalam perkhidmatan awam dan tentera. Secara tradisi, kebanyakan orang Jawa adalah petani. Ini adalah sebabkan oleh tanah gunung berapi yang subur di Jawa. Walaupun terdapat juga banyak usahawan Indonesia yang berjaya yang berasal daripada suku Jawa orang Jawa tidak begitu menonjol dalam bidang perniagaan dan perindustrian.
Susun lapis sosial
Masyarakat Jawa juga terkenal kerana pembahagian golongan sosialnya. Pada dekad 1960-an, Clifford Geertz, pakar antropologi Amerika Syarikat yang ternama, membahagikan masyarakat Jawa kepada tiga buah kelompok:
  1. kaum santri
  2. kaum abangan
  3. kaum priyayi.
Menurut beliau, kaum santri adalah penganut agama Islam yang warak, manakala kaum abangan adalah penganut Islam pada nama sahaja atau penganut Kejawen, dengan kaum priyayi merupakan kaum bangsawan. Tetapi kesimpulan Geertz ini banyak ditentang kerana ia mencampurkan golongan sosial dengan golongan kepercayaan. Pengelasan sosialnya juga dicemari oleh penggolongan kaum-kaum lain, misalnya orang-orang Indonesia yang lain serta juga suku-suku bangsa bukan pribumi seperti keturunan-keturunan Arab, Tionghoa dan India.
Kesenian
Orang Jawa terkenal kerana kebudayaan seni yang sebahagian besarnya dipengaruhi oleh agama Hindu-Buddha, iaitu pementasan wayang. Repertoir cerita wayang atau lakonan sebahagian besarnya berdasarkan roman kesateriaan Ramayana dan Mahabharata. Walaupun demikian, terdapat juga pengaruh Islam serta Dunia Barat.
Stereotaip orang Jawa
Orang Jawa terkenal sebagai suku bangsa yang sopan dan halus, tetapi mereka juga terkenal sebagai suatu suku bangsa yang tertutup dan tidak mahu terus terang. Sifat ini konon berdasarkan sifat orang Jawa yang ingin memeliharakan keharmonian atau keserasian dan menghindari pertikaian. Oleh itu, mereka cenderung diam sahaja dan tidak membantah apabila tertimbulnya percanggahan pendapat.
Tokoh-tokoh Jawa

kelompok etnik


Kelompok etnik atau suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama.[1] Identitas suku pun ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas kelompok tersebut[2] dan oleh kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku atau ciri-ciri biologis.[1][3]
Menurut pertemuan internasional tentang tantangan-tantangan dalam mengukur dunia etnis pada tahun 1992, "Etnisitas adalah sebuah faktor fundamental dalam kehidupan manusia. Ini adalah sebuah gejala yang terkandung dalam pengalaman manusia" meskipun definisi ini seringkali mudah diubah-ubah.[3] Yang lain, seperti antropolog Fredrik Barth dan Eric Wolf, menganggap etnisitas sebagai hasil interaksi, dan bukan sifat-sifat hakiki sebuah kelompok.[4] Proses-proses yang melahirkan identifikasi seperti itu disebut etnogenesis. Secara keseluruhan, para anggota dari sebuah kelompok suku bangsa mengklaim kesinambungan budaya melintasi waktu, meskipun para sejarahwan dan antropolog telah mendokumentasikan bahwa banyak dari nilai-nilai, praktik-praktik, dan norma-norma yang dianggap menunjukkan kesinambungan dengan masa lalu itu pada dasarnya adalah temuan yang relatif baru.[5]
Anggota suatu suku bangsa pada umumnya ditentukan menurut garis keturunan ayah (patrilinial) seperti suku bangsa Batak, menurut garis keturunan ibu (matrilineal) seperti suku Minang, atau menurut keduanya seperti suku Jawa.
Adapula yang menentukan berdasarkan percampuran ras seperti sebutan "orang peranakan" untuk campuran bangsa Melayu dengan Tionghoa, "orang Indo" sebutan campuran bule dengan bangsa Melayu, "orang Mestis" untuk campuran Hispanik dengan bumiputera, "orang Mulato" campuran ras Negro dengan ras Kaukasoid, Eurosia, dan sebagainya.
Adapula ditentukan menurut agamanya, sebutan Melayu di Malaysia untuk orang bumiputera yang muslim, orang Serani bagi yang beragama Nasrani (peranakan Portugis seperti orang Tugu), suku Muslim di Bosnia, orang Moro atau Bangsamoro di Filipina Selatan, dan sebagainya.

Referensi
1.      ^ a b Smith 1987
2.      ^ "Anthropology. The study of ethnicity, minority groups, and identity," Encyclopaedia Britannica, 2007.
4.      ^ Fredrik Barth ed. 1969 Ethnic Groups and Boundaries: The Social Organization of Cultural Difference; Eric Wolf 1982 Europe and the People Without History hlm. 381
5.      ^ Friedlander 1975 Being Indian in Hueyapan, Hobsbawm and Ranger 1983 The Invention of Tradition, Sider 1993 Lumbee Indian Histories.

Selasa, 27 November 2012

Beredab dan Upacara Besale Sebagai Sarana Komunikasi dengan Tuhan

Masyarkat Kubu mempunyai keyakinan tentang Tuhan didasarkan atas adanya “kekuatan”yang bersumber dari alam. Dari kata kekuatan ini muncul kata “Roh” yang dapat memberikan pertolongan pada manusia ataupun mengganggu kehidupan manusia. Selanjutnya dikemukakan tentang pandangan masyarakat Kubu, bahwa hidup tidak dicari dari alam, tetapi “diselami” dalam alam mereka menganggap hidup sebagai perjalanan yang selesai dalam keberadaan duniawi, mereka menghadapi hidup seperti kewaktuan yang berulang, sehingga ritme hidup mereka seperti perjalanan yang hanya menatap lurus dan dinikmati seperti apa adanya. Pandangan hidup tentang kepercayaan terhadap roh telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat Kubu. Bagi mereka roh halus itu tidak tampak, tetapi ada di mana-mana di sekitar manusia, karena roh memiliki kekuatan gaib yang tidak dimiliki oleh manusia, maka setiap kejadian yang menimpa manusia itu, disebabkan kekuatan roh misalnya sakit atau malapetaka lainnya. Sehingga timbul kepercayaan pemujaan roh, dan kehidupan roh sama seperti kehidupan manusia yang memerlukan makan dan minum, mengadakan sesajian (sajen) merupakan suatu pendekatan hubungan manusia dengan roh. Mereka sangat percaya bahwa orang yang meninggal dunia, rohnya tetap hidup dan kembali ke surga. Roh hidup atau jiwa manusia itu terdiri dari sifat (kebendaan),roh dan nyawa. Roh dan nyawa merupakan persenyawaan yang menyatu dalam tubuh, tetapi roh tidak berakhir setelah kematian. Roh akan terus hidup sepanjang masa dan akan tenteram apabila dipelihara dan diperhatikan. Roh akan marah atau mengganggu kehidupan manusia bila merasa di lupakan atau diabaikan. Menurut masyarakat Kubu, Tuhan adalah sama dengan yang mereka sebut “Raja Nyawa” mereka percaya bahwa Raja Nyawa berada di surga yang menguasai roh manusia. Raja Nyawa,roh, dan mahluk halus menguasai manusia dan segala isi hutan. Tuhan (Raja Nyawa), roh, dan mahluk halus ini memiliki sifat senang dan pemarah, senang apabila isi hutan dipelihara, dijaga dan dilestarikan, tetapi akan marah apabila hasil hutan dirusak,disia-siakan serta tidak dilestarikan. Mereka beranggapan bahwa pengerusakan hutan telah mengganggu ketentraman para penjaga hutan yang telah mengakibatkan malapetaka seperti berjangkitnya wabah penyakit, kematian dan sebagainya. Agar Raja Nyawa tidak menyabut nyawa dan para dewa, roh serta mahluk halus tidak mengganggu manusia maka diadakanlah Upacara Besale. Upacara Besale merupakan warisan leluhur berupa petuah-petuah dan peringatan agar anak cucu tidak melanggar tradisi yang telah turun-temurun sejak nenek moyang mereka. Petuah-petuah dan larangan itu untuk menjaga kelestarian komunikasi antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Tuhan, manusia, alam merupakan suatu lingkaran yang tidak terputus, dan manusia tidak boleh keluar dari lingkaran itu dan apabila dilanggar atau dipertentangkan akan menimbulkan kemurkaan roh serta akan mendatangkan malapetaka. Oleh karna itu masyarakat Kubu bersifat statis dan menggantungkan diri kepada keadaan dan waktu. Upacara Besale adalah upacara yang ada di tengah-tengah masyarakat Suku Anak Dalam, upacara ini adalah jenis upacara pengobatan yang bertujuan untuk menyembuhkan anggota masyarakat yang sakit atau diganggu oleh roh jahat, dengan menggunakan mantra atau sastra suci (sale) yang dibacakan oleh Sidi atau Dukun Besale. Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam upacara ini adalah : Dukun besale, pembantu dukun besale, inang, pembantu inang, pembayu, biduan, pembantu biduan, pembina, si sakit (orang yang berobat), keluarga si sakit karna mereka ini harus menyediakan biaya untuk pelaksanaan upacara. Dalam upacara besale tempat penyelenggaraan sangat tergantung dari jenis upacara besale yang diselenggarakan. Misalnya : * Jenis Upacara Besale Biasa, upacara ini diselenggarakan di dalam hutan. Di lokasi yang sudah ditentukan atau yang sudah dibuatkan sebuah bangunan sejenis bangsal beratapkan daun nipah. Bangunan akan dibongkar atau dibakar setelah upacara besale selesai, namun jika keadaan tidak memungkinkan maka upacara dapat dilaksanakan di mana saja. * Jenis Upacara Besale Bejanan, upacara jenis ini diselenggarakan di tanah yang dapat digunakan sebagai tempat menguburkan dukun atau Sidi. * Jenis Upacara Besale “Berumah Putih”, dilaksanakan di tepi sungai yang disebut “Semilu Aik”. * Jenis Besale Berunggah-unggah, jenis upacara ini sifatnya perorangan dilaksanakan di rumah si sakit, kecuali jika ada “petunjuk” yang didapat oleh Sidi, lokasi dapat dipindahkan. Dalam pertunjukan upacara Besale ini memakai alat musik redab, fungsinya mengiringi upacara besale, seperti berentak misalnya gerak dan bahasa magisnya selalu ada pada setiap langkah dan gerakannya. Demikian juga pukulan redab mereka percaya irama redab yang diiringi berentak dapat menghilangkan pengaruh jahat dari arwah-arwah yang bermaksud mengganggu anggota masyarakat. Alat musik redab ini dilihat dari latar belakangnya sudah mencapai usia kurang lebih dua ratus lima puluh tahun ini berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada tanggal 16 juli 2006 di Desa Teluk Beringin dengan informannya adalah kepala suku Kubu yang bernama Yai Kawi, dalam wawancara tersebut informan mengatakan bahwa alat musik redab tersebut sudah diturunkan kepada lima kepala suku, dalam hal ini informan adalah kepala suku yang kelima dan setiap penurunannya dilaksanakan pada saat pemilihan kepala suku yang baru. Alat musik redab ini dianggap keramat oleh masyarakat karena dalam pemeliharaan alat tersebut selalu diberikan sesaji berupa kemenyan dan bunga untuk menghormati sang pembuat alat tersebut yaitu leluhur mereka, selain itu juga dilihat dari fungsi instrument redab ini hanya dimainkan dalam Upacara Besale saja yaitu untuk mengiringi pembacaan mantera atau sastra suci (sale) dan tarian berentak. Dalam Upacara Besale yang diadakan di Desa Teluk Beringin ini hanya menggunakan sepuluh pukulan atau sepuluh motif redab yaitu : Ketebung Pemanggil, Padang, Layang, Ketebung Tunjang, Ketebumg Lurus, Elang Putih, Ketebung Siawang, Rimbungan, Manyang dan Raden. Karena Upacara Besale tersebut termasuk jenis besale berunggak-unggak atau jenis besale kecil. Instrument redab ini memiliki bentuk yang sama dengan rebana biasa, tetapi hanya ukurannya yang berbeda karena ukuran redab lebih besar dari rebana, dan juga teknik tabunya pun berbeda tidak seperti teknik tabu rebana pada lazimnya walaupun dipukul atau ditabuh dengan menggunakan kedua tangan, serta suara yang dihasilkan juga sangat berbeda dari rebana. Dalam Upacara Besale pemain atau orang yang bertugas sebagai penabuh redab disebut Biduan. Peran biduan dalam upacara ini sangat berat, karena selama upacara berlangsung redab harus selalu dibunyikan atau dimainkan pada saat Sidi atau Dukun Besale membacakan mantera atau sastra suci (sale). Jadi dalam upacara ini peran instrument redab sangatlah penting dan sebagai salah satu syarat syah dalam Upacara Besale dan juga pemainnya (biduan) tidak boleh sembarangan karena untuk memainkan alat ini harus dipilih oleh Kepala Suku dengan menggunakan upacara ritual yang sifatnya individu atau dengan cara semedi yang hasilnya nanti dikabarkan lewat mimpi. Setelah mengetahui hasil dari semedi tersebut Kepala Suku memberitahukan kepada masyarakat setempat, dan keputusan tersebut ditaati oleh semua anggota masyarakat, jadi dalam hal ini pemain redab (biduan) harus orang-orang yang terpilih tidak sembarangan walaupun dia ( anggota masyarakat) anak Kepala Suku bila bukan orang yang terpilih tetap tidak boleh memainkan instrument redab dalam Upacara Besale tersebut. Pada saat Upacara Berlangsung biasanya Biduan dibantu oleh Pembantu Biduan yang tugasnya menggantikan peran pada saat biduan sudah mulai kelelahan, biasanya Pembantu Biduan ini dipakai dalam Upacara Besale Agung karena pelaksanaan Upacara Besale Agung memakan waktu yang cukup lama yaitu semalam suntuk (12 jam) namun bila upacaranya hanya Upacara Besale kecil biduan tidak dibantu oleh Pembantu Biduan. Saat upacara berlangsung irama redab harus selalu sama dengan gerakan yang dilakukan oleh sidi dan jika tidak sama akan berdampak sangat fatal bagi si sakit atau orang yang hadir dalam upacara tersebut, seperti tidak sembuhnya si sakit, penonton banyak yang pingsan dan juga banyak yang kesurupan atau trans. Oleh karna itu peranan biduan dalam upacara ini berat dan penting sebagai salah satu penentu berhasil tidaknya upacara Besale tersebut.

Ragam musik Sumatera Selatan “Kuno, Kesultanan, dan Kini” (geo musik)


Musik, sebagai salah satu bidang seni, merupakan suatu kebutuhan masyarakat baik masa kini maupun masa lampau. Tidak ada suatu kebudayaan di dunia yang tidak mengenal musik[1]. Musik adalah suatu yang abstrak yang berhubungan dengan bunyi, tetapi alat musik merupakan benda-benda yang berwujud dan dapat kita amati, akan tetapi dibalik itu semua akan di ketahui bahwa sesungguhnya alat-alat musik dan musik itu sendiri sangat erat berkaitan, bahkan dalam kenyataan yang tak terpisahkan antara satu dengan yang lain.
          Mary Palmer mengingatkan bahwa hidup manusia di kelilingi oleh bunyi, atau sekeliling manusia bisa menjadi dasar inspirasi dalam perkembangan alat musik.[2]. Semua bagian kehidupan yang ada pada suatu sistem akan berinteraksi satu sama lain, baik dengan sesama maupun antara mahluk hidup dan benda mati. Manusia, sejak lahir memiliki akal yang dapat digunakan untuk menciptakan alat-alat musik. Oleh karena itu, dalam usaha menjajagi ragam bunyi-bunyian (musik) dan alat musik dari zaman ke zaman, perlu diperhatikan perkembangan sejarah secara umum, khususnya perkembangan sejarah dari bangsa-bangsa yang masih berkultur rendah sampai bangsa-bangsa yang berkultur tinggi.
          Pada awalnya, perkembangan musik (bunyi-bunyian) dan alat musik berasal dari manusia itu sendiri, seperti berteriak, bercakap, bertepuk tangan dan menghentakan kaki ke tanah. Alat-alat bunyi-bunyian tersebut pada awalnya digunakan sebagai ekspresi jiwa, kemudian berkembang untuk keperluan komunikasi yaitu hubungan sosial antar manusia yang berkaitan untuk ritus-ritus kepercayaan. Dengan demikian, lewat pemilihan ungkapan musik, manusia telah memulai melengkapi sarana hidupnya sejak masa prasejarah[3].
          Pada tahap kedua, manusia mempergunakan lingkungan alam dengan cara mempergunakan benda-benda alam dan alat-alat keperluan sehari-hari untuk menghasilkan bunyi, oleh sebab itu setiap bangsa memiliki alat-alat musik dan musik (bunyi-bunyian) yang berbeda-beda.
          Perkembangan seni bunyi (musik) bukan saja disebabkan oleh kemajuan teknologi, tetapi juga didukung oleh filsafat hidup masyarakat yang berkaitan dengan kepercayaan akan kekuatan alam. Dalam sejarah musik, dikatakan bahwa alat musik telah ada sejak masa prasejarah. Penelitian arkeologi di Polandia dan Rusia, pada tahun 1940, telah menemukan alat bunyi-bunyian dari bahan tulang, gerabah, dan perunggu dari masa prasejarah, (T. Malinowski, 1981: 266-271; W. Kimmininski, 1963).[4]. Penelitian Casya Lund (1981: 246-265) di skandinavia dan Malinowski (1981: 266-271) di Polandia, telah ditemukan alat-alat bunyi-bunyian dibuat dari bahan tulang, batu, gerabah, dan perunggu.
          Perkembangan alat-alat bunyi di dunia ternyata tidak sama disebabkan perhatian suatu bangsa terhadap bunyi sekelilingnya tidak sama. Hal ini tampak sekali pada bangsa-bangsa yang telah mengenal tulisan seperti Mesir, Sumeria, bangsa-bangsa di Mesopotamia, Israel, Cina, Yunani dan India sebelum tarik Masehi. Oleh kemajuan teknologi alat bunyi-bunyian yang sederhana diubah menjadi bentuk-bentuk alat musik seperti yang sekarang kita kenal.
Sejak masa prasejarah, di Indonesia telah dikenal alat musik nekara dari bahan perunggu. Adapun kebudayaan perunggu di Indonesia itu datangnya dari Tiongkok Selatan, Propinsi Yunan, melalui Tonkin, yang kemudian masuk ke Melayu dan baru sampai ke Indonesia. Daerah-daerah yang dulunya mempunyai peninggalan-peninggalan zaman perunggu antara lain;[5]

1.   Sumatera Selatan
2.   Jawa
3.   Bali
4.   Beberapa kepulauan Nusa Tenggara
5.   Irian dengan Danau Santani

Kebudayaan Perunggu ini sering juga disebut kebudayaan ‘Dongson’, yaitu nama desa di Tonkin, dimana para ilmuwan mengadakan penyelidikan yang menghasilkan pembuktian bahwa kebudayaan di Indonesia itu datangnya langsung dari daerah tersebut, penyelidikan ini dilakukan oleh Payot. Kebudayaan perunggu ini bahannya sangat erat dengan gamelan, ada hal-hal lain yang sedikit banyak memberikan gambaran pertumbuhan dari salah satu instrumen karawitan yang tumbuh pada zaman ini, yaitu genderang perunggu atau tepatnya Nekara. Nekara adalah genderang perunggu yang di perkirakan digunakan sebagai :
·         Genderang Perang
·         Genderang Upacara (Pemakaman)
·         Genderang Iringan Tari.
Bukti kuat lagi yang dapat dilihat pada nekarabulan pejeng” di Bali, yang ditemukan disebuah kuil di Pejeng, dan juga nekara yang terdapat di daerah Kedu. Perlu diketahui bahwa nekara pejeng ini jelas buatan Indonesia, karena terbukti adanya ‘Batu Tuangan’ untuk nekara semacam itu.
Bukti lain yang menyatakan bahwa gamelan sudah ada di zaman perunggu yaitu adanya Kenong Batu, yang diperkirakan sebagai motif untuk membuat Kenong yang terdapat di Jawa Tengah. Hal-hal di atas merupakan bukti-bukti yang akan menuntun kebudayaan Indonesia untuk mengenal atau menciptakan musik yang kita sebut sekarang ‘karawitan’
Di abad ke-VIII dijumpai sejarah karawitan hanya dari relief candi saja. Dari sumber tersebut kita mengenal empat macam alat karawitan sebagai berikut :
  1. Genta / kulintang
  2. siter berbatang panjang
  3. kecapi berkawat tiga
  4. semacam kecer, yang dikenal dengan istilah asing cymbale.
Jelas pada abad ini kita hanya dapat melihat sumber sejarah karawitan dari bangunan kuno yang berupa candi yang ada reliefnya, candi itu ialah Candi Borobudur, Candi Dieng, Candi Prambanan, dan Candi Sari. Begitupun di abad ke- IX kita jumpai sumber karawitan dari piagam-piagam, relief candi dan beberapa arca lepas, arca yang di maksud yaitu arca perunggu dari Tegal, pinggir sungai Pagerayu, Desa Jatimerta kecamatan Balapulang, berupa arca Kinara membawa siter berbatang panjang, arca perunggu berupa Dewi Saraswati membawa kecapi dengan tiga kawat. Dari relief candi kita jumpai alat-alat karawitan yaitu;
kendang bermacam bentuk, ukuran, bahan dan cara-cara memainkan, genta dari berbagai bentuk dan ukuran, kecer dari berbagai bentuk dan ukuran seruling (bangshi), kecapi dengan 2,3,dan 4 kawat, harpa lengkung, pot suara, terompet kerang, campuran gambang dan calung. Sedangkan dari arca lepas alat yang kita jumpai yaitu; siter berbatang panjang, kecapi berkawat 3 dan genta lembu.
Hingga sampai abad ke-XX banyak sekali sumber sejarah perkembangan karawitan di Indonesia yang dapat kita lihat. Sama halnya musik daerah/etnis di Sumatera Selatan yang tidak jauh berbeda dengan musik daerah-daerah lain di Indonesia (yang menggunakan tangga nada Pentatonis), tetapi setelah masuknya pengaruh islam dan barat musik-musik zaman prasejarah mulai di tinggalkan dan timbulah bentuk baru yang mempergunakan tangga nada diatonis. Musik dan instrumen tradisi yang mempunyai arti yang dalam, sekarang sudah makin tidak berfungsi terdesak oleh makin populernya musik barat. Instrumen tradisi di Sumatera Selatan mempunyai bentuk dan bahan yang sama dengan instrumen di Minangkabau, Jawa serta Bali.
I.  Bahan yang digunakan
Bahan yang digunakan untuk membuat musik tradisi ini adalah besi atau logam campuran yang sering disebut gangsa (sama seperti di Jawa Tengah) di samping itu juga yang terbuat dari kayu dengan mempergunakan membran kulit (gendang dan terbangan)


II. Nama Instrumen
          Perangkat instumen ini disebut dengan nama gamelan sama seperti juga di tempat lain, adapun gamelan ini terdiri dari;
a)    Kulintang perunggu dan kayu
b)   Tawa’-tawa’ atau kanong-kanong
c)    Kempul dan gong
d)   Gendang
III. Tempat
          Boleh dikatakan di tiap-tiap kabupaten dan kota di Sum-Sel ada gamelan dan kalaupun ada perbedaan hanya namanya yang disesuaikan dengan logat kedaerahan dan suku masing-masing
IV. Pemain
          Pemain biasanya terdiri dari 9 ataupun 10 orang, sayangnya pemuda-pemuda sekarang hampir tak ada yang bisa memainkannya lagi, berbeda dengan di Jawa, maupun Bali dimana karawitan ini masih berkembang dengan baik.

Zaman Kesultanan dan Kolonial
Musik sebagai cabang kesenian yang tidak akan lepas dari segi-segi kehidupan  manusia dan masyarakat, oleh sebab itu musik Sumatera Selatan pada masa Kesultan banyak sekali dipengaruhi oleh kegiatan keagaman yang bertujuan untuk ritual puji-pujian terhadap Tuhan YME,
Pada Masa Kesultanan musik di Sumatera Selatan banyak sekali mendapat pengaruh Timur Tengah (Islam) seperti musik melayu, hadro dengan syair diambil dari serat berjanji, serta yang sampai saat ini eksistensinya tetap memiliki masyarakat pendukung, sebut saja salah satunya musik rakyat Irama Batang Hari Sembilan.
Musik rakyat Irama Batang Hari Sembilan ini merupakan hasil kreativitas masyarakat Sumatera Selatan, dalam hal ini salah satu contoh daerah masyarakat Batu Urip, yang mengandung perasaan individu dan pendukung pola masyarakat yang dituangkan melalui seni tradisi berupa sastra klasik melayu kuno berupa pantun yang dikomposisikan dengan alat musik gitar (pengaruh kolonial)
Batu Urip merupakan sebuah desa di Kabupaten Musi Rawas. Di desa ini memiliki suatu bentuk kesenian musik rakyat “batang hari sembilan” yang sangat erat hubungannya dengan upacara adat pernikahan dan sosial masyarakat pendukungnya. Kesenian musik batang hari sembilan ini sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Batu Urip, karena kesenian ini selalu dipakai dalam upacara pernikahan, selain itu juga selalu ditampilkan sebagai bentuk seni pertunjukan yang difungsikan oleh masyarakat pendukungnya sebagai aset dan wawasan bagi generasi muda karena banyak mengandung nasehat dan petuah-petuah serta sebagai pewaris tradisi kesenian rakyat.
Proses pertumbuhan musik rakyat irama batang hari sembilan diawali di sekitar perbatasan antara Jambi dan Sumatera Selatan hingga ke daerah-daerah pedalaman. Penyebaran itu banyak dilakukan melalui transportasi sungai karena di Sumatera Selatan banyak memiliki sungai yang besar-besar yang berjumlah sembilan. Sungai tersebut adalah Sungai Musi, sungai Komering, sungai Ogan, sungai Rupit, sungai Lakitan, sungai Batang Hari, sungai Rambang, dan sungai Lematang, sungai Musi Rawas. Sungai-sungai ini merupakan fasilitas perhubungan yang sangat penting di daerah Sumatera Selatan, selain itu juga sungai ini dimanfaatkan untuk mata pencarian masyarakat yaitu menangkap ikan, serta digunakan juga sebagai jalur utama untuk menghubungkan ke tiap-tiap daerah pedalaman yang berfungsi sebagai penyebaran agama dan tidak menutup kemungkinan untuk sarana komunikasi budaya. Satu tempat yang dipilih berdasarkan pertimbangan, dimana lalu lintas sungai Batang Hari Sembilan sangat penting karena sebagai jalur komunikasi dalam penyebaran agama islam ke daerah uluan atau pedalaman.
Menurut masyarakat Batu Urip Kabupaten Musi Rawas, proses penyebaran musik rakyat irama batang hari sembilan melalui jalur sungai yaitu sungai kelingi, dapat mencapai daerah pedalaman Sumatera Selatan hingga akhirnya sampai ke daerah Batu Urip. Musik tersebut masuk dan diterima oleh masyarakat setempat ketika mereka masih bertempat tinggal di hilir sungai. Dapat dikatakan bahwa musik rakyat irama batang hari sembilan yang terdapat di desa Batu Urip merupakan hasil dari proses difusi kebudayaan. difusi merupakan proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari individu satu ke individu lain, dari masyarakat satu ke masyarakat yang lain. Dengan proses tersebut manusia mampu untuk menghimpun penemuan-penemuan baru, sehingga dapat dikatakan proses difusi tersebut, merupakan pendorong pertumbuhan satu kebudayaan dan memperkaya kebudayaan manusia.
Masuknya musik rakyat irama batang hari sembilan memberikan perubahan yang membawa ke arah perkembangan pada kesenian masyarakat Batu urip. Perubahan bentuk kesenian tradis terjadi karena masyarakat setempat ingin mengembangkan identitas daerahnya. Sebelum masuknya musik rakyat irama batang hari sembilan ke desa Batu Urip, di sana terdapat kesenian pantun bersaut (rejung).

Pada awalnya kesenian rejung ini merupakan bagian dari acara ceremonial yang biasanya dimainkan oleh pemuda dan pemudi dalam acara pernikahan, yang waktunya dimainkan pada malam hari, yang fungsinya untuk saling mengenal antara satu dengan lainnya. Tempat duduk para bujang dan gadis dipisahkan oleh tabir sehingga tidak dapat dilihat, pengenalannya hanya pada suara yang didengar seperti biasanya pantun bersaut.[6]. fungsi semula yang hanya menjadi bagian dari peristiwa adat, namun kini mengalami pergeseran fungsi yaitu sebagai seni pertunjukan, pergeseran itu tampat pada, tidak terlibatnya satu komunitas undangan muda-mudi untuk berejung, tetapimereka cukup menonton dua orang antara pria dan wanita dalam menyajikan musik tersebut.
Musik rakyat irama batang hari sembilan dalam penyajiannya secara tidak langsung difungsikan oleh masyarakat pendukungnya sebagai wawasan untuk generasi muda karena banyak mengandung nasehat-nasehat dan petuah-petuah. Ternyata karya seni dapat difungsikan sebagai tonggak sejarah yang mengabadikan pandangan hidup baru dan menandai kehadiran tertentu yang penting artinya bagi generasi bangsa[7]. Hingga sampai sekarang musik rakyat irama batang hari sembilan tetap dikenal karena kemampuannya dalam memfungsikan diri sebagai pewaris tradisi rakyat yang mana syair lagunya hingga saat ini mampu meluruskan etika-etika bagi pendengarnya.



Masa Kini
          Seiring perkembangan zaman dan pesatnya kemajuan teknologi seta banyaknya terdapat bermacam suku bangsa di Sumatera Selatan, berimbas pada kesenian musik yang terdapat di Sumatera Selatan sendiri, banyaknya kesenian-kesenian tradisi mulai ditinggalkan yang akhirnya menyebabkan kepunahan karena saat sekarang ini masyarakat (generasi muda) menganggap musik tradisi itu sudah ketinggalan jaman atau kampungan. Padahal generasi muda adalah sebagai tongkat penerus kebudayaan bangsa. Selain itu juga hampir seluruh kesenian yang terdapat di Indonesia menggunakan atau kentalnya menggunakan tradisi lisan atau tutur, ini juga salah satu penyebab kepunahan kesenian tradisi masa lampau.
          Pada masa sekarang ini masyarakat di Sumatera Selatan hampir tidak mengenal dengan kesenian tradisinya sendiri, karena kurangnya minat serta para ahli-ahli di bidang kesenian tradisi sudah banyak yang meninggal, di samping itu juga pesatnya pengaruh barat yang tanpa filter lagi di terima masyarakat Sumatera Selatan sehingga banyak yang meninggalkan kesenian tradisi tersebut dan beralih ke kesenian modern salah satu contoh kesenian yang marak berkembang di Sumatera Selatan adalah electon (orgen tunggal) hampir dalam setiap acara kesenian alat musik ini di gunakan sebagai pengganti dari alat musik tradisi yang ada di Sumatera Selatan, yang akhirnya menyingkirkan kesenian musik tradisi yang masih bertahan. Oleh karena itu untuk masa sekarang ini perlu kita bangun kerja sama yang baik antara dewan kesenian, dinas pendidikan nasional dan dinas pariwisata serta para pelaku seni untuk melakukan riset yang gunanya sebagai pendokumentasian baik berbentuk tulisan maupun audio visual, yang gunanya sebagai bahan ajar di sekolah-sekolah sebagai salah satu penumbuhan kecintaan terhadap kesenian tradisi (musik) serta sebagai bentuk pelestarian budaya yang masih ada di Sumatera Selatan.


Salam Budaya





[1] Zanten , W. van. 1989. Sundanese Music in The Cianjuran Style. Foris Publication, Dordrecht – Holland. p. 3
[2] Palmer, Mary.1977.Music appreciation – for babies. American Babies:22, New York.p.43  
[3] Sachs, Curt. 1940. The History of Musical Instrument. W.W. Norton & Commpany. IncNew York.
[4] Malinowski, T. 1981. Archaeology and musical instruments in Poland. Dalam Alat Musik Jawa Kuno. Mahardika, Yogyakarta.p.3.
[5] Haryanto, Timbul. 1994.  Aspek Teknis dan Simbol Artefak Perunggu Jawa Kuno Abad VIII-X. Disertasi. Univ Gadjah Mada, Yogyakarta
[6] Suwondo, Bambang. 1984. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sumatera Selatan. Depdikbud. Jakarta.p.10.
[7] Setjoatmojo, Pranjoto. 1982. Seni Sebagai Media Komunikasi Budaya. Depdikbud. Jakarta

Cari Blog Ini